Ada banyak alasan kenapa seseorang bisa terkena insomnia. Mulai dari psikologis sampai biologis. Internal atau eksternal. Tapi insomnia versi gue sederhana: pada suatu malam ketika gue udah menutup badan dengan selimut tapi gak bisa tidur-tidur gue kepikiran ke mana ya temen gue, si penjual lotek itu sekarang berada? Gue pun membulatkan tekad untuk menulis tentang dia di blog. Dengan harapan siapa tau ada yang tau dan bisa menghapus rasa penasaran gue yang lama-lama bisa bikin gue gila sendiri cuma gara-gara udah lama gak makan lotek.
Tapi namanya juga kehidupan. Bejibun banget dengan hal-hal yang gak sesuai rencana. Pas sekali saat gue mau menulis tentang penjual lotek langganan gue dulu itu, Cinnamon, Simon atau Temon, kucing peliharaan di rumah ini lalu mengeong-ngeong dengan nada iba ke gue.
Seketika gue tau kok dia kelaparan, secara doi sering banget nyamperin gue kalau dia lagi kelaperan. Mungkin semua ini gak jadi cerita kalau gue akhirnya kasih apa yang dia mau. Masalahnya adalah, makanan dia yang biasanya ditaruh di tempat yang gue tau sekarang malah gak ada. Waduh, ini gimana dong? Udah malem lagi.
Gue pun menjelajahi rumah buat mencari makanan dia yang entah digondol siapa. Tega banget ngambil makanan kucing yang innocent ini. Sampai bikin gue kesel sendiri karena gak berdaya buat membantu si Simon.
Gak parah-parah amat sih sebenernya. Masih ada sisa makanan di mangkuknya dia. Tapi ya cuma beberapa biji. Biasanya, kalau gue kasih makan gue akan kasih dia lebih banyak sampai menggunung di mangkuknya. Dan sebelum gue tuang, gue akan mengocok kemasannya dulu sampai bersuara dan Simon memperhatikan itu. Seringkali Simon langsung makan kalau denger suara kayak gitu. Makannya gak pernah sampai habis dan selalu ada sisa di mangkuknya.
Dan sisa makanan itu samasekali gak memenuhi kriteria standar untuk menimbulkan efek suara. Maka gue pun terpaksa menyodorkan mangkuk itu ke Simon, dan dia gak mau. Akhirnya gue pun menaburkannya ke lantai, dan menggiring doi buat makan itu sisa makanan buat mengganjal perutnya. Untung sih dimakan sampai habis. Tapi Simon itu kucing beger, doi gak cukup cuma makan seporsi jabang bayi gitu doang.
Simon pun akhirnya cuma bisa mengeong dengan suaranya yang bikin hati siapapun yang mendengarnya teriris-iris.
Momen ini akhirnya bikin gue mikir lagi. Betapa kejadian kayak gini udah beberapa kali gue lihat, atau alami sendiri.
Simon ini kucing, dan sejauh yang gue baca seekor kucing emang gak se-setia seekor anjing. Dan Simon ini seringkali nyamperin orang kalau lagi ada perlunya doang. Lalu dengan mata berbinar-minar mirip Puss in Boots dan suaranya yang memelas selalu bikin gue jadi gak tega. Tapi kejadian kaya begini juga beberapa kali gue alami, bedanya, dia bukan kucing melainkan manusia.
Menjadi orang yang terlalu gampang tersentuh atau bersimpati dengan keadaan seseorang ternyata gak baik, akhirnya gue menyimpulkan. Gak tau karena keturunan atau apaan gue sendiri termasuk orang yang seringkali gampang terpengaruh sama orang lain. Tapi gue sendiri masih belajar buat menjadi orang yang "tegaan", dan orang-orang seringkali memandang negatif dengan hal ini. Mungkin katanya bukan "tegaan" harusnya, bisa juga "gak peduli" atau bahkan "egois" dan bla-bla-bla.
Gue pernah membantu seseorang, temen gue sendiri karena dia emang sering cerita ke gue tentang kesulitannya dalam hidupnya yang penuh problematika. Dia minta tolong ke gue dalam hal sesuatu di saat gue sendiri sebenernya sedang sibuk melakukan sesuatu. Gue gak tega, dan akhirnya meninggalkan kesibukan gue yang sebenernya penting buat gue saat itu, dan untuk jangka panjang. Temen gue itu di telepon pokoknya menggambarkan kondisi yang menurut gue udah butuh pertolongan banget. Gue pun buru-buru menemui dia dengan rasa was-was, dan pikiran-pikiran takut ada apa-apa. Pokoknya sebuah kondisi di mana rasa kekhawatiran itu memuncak.
Pas gue sampai. Semua yang dikatakan temen gue itu dusta.
Tapi dari kejadian itu pun gue sadar. Selama ini, bahkan sampai sekarang gue belum bisa tegas untuk menolak ketika seseorang menggunakan sifat gampang-kasian nya gue yang gak tau positif atau negatif itu.
Terakhir kali yang gue alami pun sama, beberapa minggu yang lalu di mana gue membantu seorang temen gue di mana saat itu gue pun harus ke sana - ke sini sendirian buat nolongin dia, dan keesokannya ada deadline pengumpulan tugas yang menentukan kelulusan. Tapi setelah gue bantu dia, ternyata lagi-lagi efeknya justru ke gue sendiri. Ternyata dia gak sebutuh itu dengan bantuan gue. Dia lagi santai, lebih santai dari gue sendiri yang saat itu ngos-ngosan. Gue pun lalu bergegas pulang, dengan waktu yang terbuang dan harus mengerjakan tugas sendirian.
Mungkin bukan salah mereka. Mungkin emang guenya ajah yang terlalu make perasaan. Susah emang buat ngubah sifat kaya gini, gak semua orang mengerti bagaimana susahnya. Beberapa orang cuma bisa jadiin ini bahan bercandaan terus ketawa pake mulut menganga padahal mulutnya bau pantat ayam janda.
Mungkin mereka, orang-orang yang jargon hidupnya "The less I care, the happier I will be" lah yang paling beruntung. Tapi pelajaran dari malam di mana gue insomnia ini adalah, banyak hal yang harus diubah. Juga, bagaimana rasa kepedulian itu harus memikirkan diri sendiri juga. Jangan sampai hanya karena demi kepentingan orang lain, kepentingan diri sendiri juga dilupakan. Egois? mungkin, ah tapi mungkin yang ngomong egois cuma mereka yang kesel karena terlalu manja sampe minta bantuan melulu.
Sebelum tulisan ini berakhir, akhirnya kakak gue menemukan makanannya Simon ini. Dan Simon, sekarang gak lagi mengeong dan mulai menjadi Simon seperti biasanya; yang kalau dipegang pas udah kenyang suka ngamuk dan mencakar-cakar. Seolah lupa beberapa menit yang lalu doi ngelepas gengsi dan memelas-melas.
Yeah, everybody's changing in a minute. Ralat; everycat.