Suatu pagi yang sendu, dengan keringat yang membasahi baju. Embun pagi yang berserakan di udara, langkah kaki yang terus melaju. Matanya beradu dengan jarak pandang yang hanya sampai beberapa sentimeter tapi ia tak mau mundur. Keningnya berkerut lucu ketika berpikir apakah gerangan yang menghadangnya nanti. Badannya menggigil namun bisa ditahan. Kakinya yang telanjang mati rasa sekalipun rutin digesek tanaman yang basah oleh embun.
Lampu itu tak pernah terlihat, sebuah cahaya yang dulu adalah mercusuar yang megah namun kini terasa tiada perkasa karena diberangus oleh kelembutan embun. Dan di mana gerangan mereka yang dulu mengaku satu rumpun?
Badannya makin kekeringan dengan tulang yang mencuat seolah ingin loncat dari balik kulit. Otaknya berpikir ekstra seiring detak jantungnya yang berpacu. Ketika semua di luar sana merasa bersatu, mengapa ketika ditanya kemana di saat seperti ini, mereka tak anggap bermutu.
Pupilnya melebar, namun bibirnya terkatup semakin irit. Embun pagi yang sendu. Artinya hanya satu, semua semu, sekalipun semanis madu.
No comments:
Post a Comment