Dulu saya sering mendapati karakter di novel-novel yang gelisah dengan masa depannya. Karakter itu begitu gelisah dan takut kalau-kalau ia nantinya tidak menjadi apa-apa. Saya takut banget kalau jadi kaya dia suatu saat nanti.
Hingga beberapa tahun kemudian...
Kejadian. Ke saya sendiri. Ya, sayalah si karakter fiktif itu yang kini jadi non-fiktif. Asli loh. Suwer.
Saya sendiri selalu berusaha menjadi orang yang optimis, atau mungkin sok optimis. Terserah. Toh dengan sok-sok-an optimis seringkali sikap optimis itu dateng sendiri. Semangatin orang lain yang lagi gak semangat sekalipun kamu sendiri lagi gak semangat, dan seringkali energi itu balik lagi ke kamu.
Saya suka menetapkan target buat saya sendiri. Tapi sampai tahun lalu gak semua target saya kecapai. Saya benci dibilang perfeksionis, karena menurut saya apa yang saya lakukan gak ada apa-apanya dibandingkan apa yang orang di sekitar saya lakukan. Dan ini memang salah, salah karena untuk apa mengukur kemampuan diri dengan alat ukur untuk orang lain. Bayangin bagaimana kamu mengukur banyaknya beras dengan penggaris bangunan, bukannya timbangan.
Ini hari pertama semester 6 dan saya sekarang memiliki nasib yang sama kaya beberapa tokoh fiktif yang saya baca di novel-novel. Ketakutan mereka akan nasib mereka sendiri. Jujur, saya sendiri takut kalau-kalau apa yang saya targetkan ke depan gak kecapai. Di semester ini banyak sekali hal-hal yang harus saya pelajari, padahal kemampuan saya sendiri belum seberapa. Ah lagi-lagi ngebandingin dengan kemampuan orang lain. Saya ingin sekali memiliki kemampuan yang lebih daripada ini, dan ini memang lagi saya lakukan dengan rutin setiap hari meskipun hanya beberapa menit.
Kamu gak tahu bagaimana rasanya berada di jurusan kuliah yang mengharuskan kamu tahu banyak hal dari A sampai Z. Bahkan kebanyakan orang mengira bahwa jurusan kamu itu cuma ngajarin bagaimana jago gambar. Kamu gak tahu bagaimana rasanya meriset tentang tugas untuk iklan yang kamu dapat, misalnya kamu apes mendapatkan produk celana dalam untuk pria. Setelah didapat kamu lalu harus memikirkan konsep visual seperti apa. Dan kebanyakan hanya melihat di sini, bentuk visual atau hasil akhir. Semua orang memang begitu kok, dan saya anggap wajar sekalipun saya akan memarahi diri sendiri kalau saya jadi orang yang hanya melihat hasil akhirnya. Saya suka sekali dengan prosesnya. Apalagi ketika mendapat tugas membuat poster iklan tentang nasib veteran perang di Indonesia saat ini. Sampai suatu waktu saya dan seorang teman saya menemui seorang ketua veteran perang itu langsung. Ah, rasanya menyenangkan mendapatkan informasi tentang apa yang akan kamu angkat secara langsung dibandingkan berkutat di depan komputer. Apalagi saya bukan termasuk orang yang betah berlama-lama di depan layar sambil duduk. Tapi bukan berarti betah kalau sambil nungging.
Di semester ini mungkin saya akan menemukan banyak sekali rintangan. Saya harus belajar tentang statistika, memperbaiki bahasa Indonesia dan bahasa Inggris saya plus belajar bahasa Italia dan Esperanto. Saya juga harus mengasah cara kerja saya dan juga sikap saya selama ini yang masih emosional. Software-software komputer juga harus saya asah lagi mulai dari Photoshop, Adobe Illustrator dan Adobe InDesign. Tapi tolong jangan merendahkan saya dengan bilang bahwa saya cuma bisa bergambar dan gak bisa mikir.
Habis semester ini memang libur. Tapi saya mau mengambil semester pendek. Dan di semester pendek itu saya akan kerja praktek. Dan ini juga bikin gamang. Saya masih takut kalau saya gak akan diterima di mana-mana dengan kemampuan saya yang masih kayak gini. Target saya adalah kerja praktek di luar negeri, niatnya karena dengan begitu saya bisa belajar bahasa mereka dan kultur mereka yang akhirnya bikin pikiran saya gak sesempit ini. Kalau gagal akan turun menjadi di luar pulau Jawa (di Batam, Bali atau pulau Sulawesi) niatnya juga sama, saya ingin tahu bagaimana kehidupan di luar sana. Kalau gagal, saya ingin kerja praktek di luar Jawa Barat, misalnya di Yogyakarta, Semarang atau Surabaya dan Banyuwangi. Kalau gagal? Okelah di Jawa Barat, misalnya di Jakarta. Kalau gagal? Sialan. Iyadeh di Bandung. Gagal lagi? Kampret. Biarpun pahit tapi okelah emang harus siap buat kemungkinan terburuk: saya akan berkemas, pergi ke manapun dan tinggal di sana selama beberapa waktu sambil melatih kemampuan diri dalam dunia desain, periklanan, kepenulisan, bahasa, fotografi, sosial dan lain-lain selama liburan. Sekalipun konsekuensinya saya gak akan lulus sesuai sasaran.
Nah! Ini lagi nih yang bikin galau. Eh tunggu, kata "galau" terlalu remaja buat saya yang akan beranjak dewasa, atau sok dewasa ini. Lagi-lagi biarin, kalau ini adalah cara saya biar dewasa ya saya lakukan. Setelah itu saya akan memasuki tahun terakhir kuliah. Ini nih. Banyak banget pelajaran-pelajaran yang harus saya pelajari, masih banyak buku yang harus saya lahap, dan bla-bla-bla. Kamu tahu, kadang ada beberapa orang yang malas mikir, tapi dia justru lebih beruntung daripada kamu yang suka mikir. Dan semesta terlihat lebih mendukung orang seperti itu. Ah. Ini lagi nyoba nyeimbangin.
Tapi saya suka sekali dengan teman saya yang memberikan tanggapan ketika saya bercerita tentang kegelisahan saya ini, "...kuliah kan buat belajar, cuma di sini kamu bisa melakukan sesuatu yang salah." Simpel, dan udah banyak yang sering ngomong kaya gini. Tapi suka dilupain. Jadi, semoga semester ini saya lebih baik dari semester kemarin yang masih banyak banget kekurangan. Dan tentunya dengan memberikan kesempatan ke saya sendiri untuk melakukan suatu kesalahan dalam proses pembelajaran.