Pages

21 May 2013

Pencerita yang Dibutuhkan Alam Semesta

Mungkin ini curhat, atau apapun. Karena kata-kata ini tak perlu dibaca untuk yang tak berminat. Tapi yang selalu jadi pertanyaan dan selalu ada di pikiran adalah bagaimana menghapus rasa rindu dengan seseorang yang sudah tiada.

Misalnya dengan satu orang yang lihai benar bercerita, bikin badan yang gak mau diam ini jadi semacam terbenam dalam duduk berpose sila, bikin mulut yang katanya banyak ngomel ini jadi mingkem, bikin pikiran yang lari ke mana-mana ini jadi diem, yaitu beliau yang berbau balsam. Waktu kecil memang sangat tidak suka dengan bau balsam, rasanya seperti ada rasa-rasa tidak sedap di lidah. Beliau adalah satu-satunya manusia yang bau balsamnya bisa ditoleransi hidung.

Beliau sering bercerita. Kamarnya yang berada di lantai dua membuat kaki-kaki yang dulu kecil ini tak lelah untuk melompati tangga. Kamar beliau, adalah akuarium dengan ikan-ikan pari, ikan paus, dan beberapa penyelam yang asyik menyelam di sana. Lengkap dengan suara air yang menjadi latar ketika mulut beliau dengan lucunya mengeluarkan kata-kata. Matanya berpindah-pindah, kadang ke ujung ruangan, kadang ke samping, atau jika kau tak siap-siap, dapat menujam kedua bola matamu.

Mungkin karena masih kecil dan tak mengerti apa yang terjadi, mata ini dulu tak mengeluarkan air mata setetes pun. Dulu masih belum mengerti bahwa ketika seseorang berhenti bernafas, lalu dijemput mobil menuju pemakaman, artinya adalah bahwa dia tidak akan ada lagi untuk bercerita, baik esok, setahun berikutnya, atau bahkan ketika mendapatkan predikat juara di perlombaan-perlombaan.

Beliau juga seringkali mengajak jalan-jalan. Benar-benar jalan, lalu pulangnya memberikan permen untuk dinikmati sambil jalan. Waktu itu masih kecil, jadi yang masih diingat adalah pinggulnya, bukan bagaimana wajahnya ketika berjalan. Atau, sandalnya yang merupakan spesies sandal jepit yang dengan mudah dapat ditemukan di warung-warung terdekat. Beliau tidak pernah malu berjalan kaki dengan pakaian sederhana, beliau tidak mau menyetir mobil karena hanya akan mempercepat menuju tujuan. Padahal, banyak yang bisa ia temui di jalan.

Beliau adalah yang membuat jemari ini doyan menulis, merangkai kata-kata untuk mengubah imajinasi ini dalam secarik, dan setumpuk kertas. Atau sekarang, dijital. Karena dulu tak pernah ada yang memberikan buku cerita, maka harus membuat sendiri dengan cerita-cerita yang ada di kepala.

Beliau juga selalu mendengarkan, ketika yang lain mengacuhkan. Ingat benar bagaimana mendengar segala keluhan, dan cerita-cerita yang menurut orang lain hanya omongan. Beliau memeluk tubuh kecil yang ringkih tapi doyan benar bergerak lalu terjatuh baik dikejar, atau mengejar anjing tetangga yang nakal ini dengan erat tapi tak membuat pengap.

Dulu sempat kepikiran, jangan-jangan beliau pergi diculik oleh makhluk-makhluk yang digambarkan oleh tangan ini di tembok-tembok kamarnya. Beliau tidak pernah marah ketika cucunya menggambar di tembok, beliau menghargai kreatifitas atau, kenakalan. Ada Si Gombel, hantu Wewe Gombel yang selalu bikin ngos-ngosan karena berlari pulang saat maghrib menjelang. Ada Mang Sana, warung langganan untuk membeli jajanan. Ada robot-robot yang tak sempat diberi nama, atau yang lebih abstrak: latihan-latihan tanda tangan karena dulu beranggapan memiliki tanda tangan berarti memenuhi kualifikasi untuk menjadi dewasa.

Tidak ada yang pernah memberikan jawaban ketika pikiran-pikiran ini bertanya, lalu disalurkan ke pita suara untuk menjadi kata-kata. Semua diam ketika ditanya beliau di mana. Otak ini tak pernah diberikan suapan yang ia inginkan. Ia menungu beliau untuk sekedar bercerita, ia haus akan cerita-cerita seperti biasa.

Beliau adalah orang yang paling dicinta,
beliau adalah sang pencerita yang percaya bahwa setiap cucunya dapat menaklukan semesta;
Kakek, yang telah mengisi pikiran ini dengan alam semesta kata-kata.

No comments:

Post a Comment