Saya gak tau. Lagi-lagi gak berbakat ngambil sikap yang baik saat mendengar atau mengalami ketika seseorang yang punya hubungan dengan saya tutup usia. Saya selalu bingung, rasanya gak ada posisi yang pas. Gak ada buku panduan bagaimana bersikap ketika ditimpa hal-hal itu. Sekali lagi, saya males kalau harus bersedu-sedu, but i’m not made of stone, saya juga merasa kehilangan. Saya sendiri benci melihat sebuah proses pemakaman. Saya juga benci melihat rupa orang yang selama ini ada disamping tapi tiba-tiba dibungkus kain kafan atau terbaring di peti. Dari kecil saya gak ngerti apa itu kematian, yang saya tahu cuma kehidupan. Dan tentang kehidupan pun saya gak banyak mengerti dan masih mencari. Saya masih suka berdoa, saya masih suka berusaha, atau bahkan tertawa.
Tapi kalau boleh memilih, mungkin saya ingin mati dengan bahagia. Gak usah ada yang menangis, tapi juga jangan lah tertawa.
Biasa ajah.
31 October 2012
24 October 2012
Selamat Tinggal
Saya masih belum mengerti tentang apa itu keadilan. Dulu mungkin saya sering berpikir bahwa keadilan berarti, semua mendapatkan bagian yang sama rata. Yang serupa. Tanpa ada perbedaan barang secuilpun. Saat ibumu membagikan sup kepada anak-anaknya, maka setiap anak harus mendapatkan bagian yang sama : semangkuk peranak dengan takaran yang serupa. Jika memang sang ibu tak mampu, maka sepertengah perbagian peranak. Apapun yang mereka punya, setiap anak harus mendapatkan bagian yang serupa tanpa ada perbedaan.
Tapi keadilan mungkin bukan seperti itu. Setiap anak lahir pada tahun yang berbeda, dengan ukuran tubuh yang bervarian pula. Tak semua anak mampu menghabiskan semangkuk sup itu, atau bahkan tak semua anak merasa tercukupi hanya dengan diberi semangkuk sup. Mungkin keadilan adalah sesuatu yang tak patut dipermasalahkan oleh manusia, dan hanya Dia yang tahu jawabnya. Tapi saya manusia, saya punya otak dan hati yang tentunya akan selalu bertanya-tanya.
Hari ini, beberapa jam sebelum saya menuliskan ini, saya mendapat kabar bahwa teman sekampus saya meninggal. Teman sekampus yang dulu mendapatkan tugas yang serupa, sama-sama bermata berat karena begadang, menghirup oksigen yang serupa, membuang sel-sel mati ditempat yang sama. Tapi kini dia malah mengthentikan nafasnya lebih awal, meninggalkan semua seolah hal-hal serupa yang kita jalani tak ada artinya.
Saya benci mendengar ketika teman, keluarga atau orang yang saya kenal telah tiada. Kikuk. Saya benci menangis, tapi saya juga benci pura-pura apatis. Adakah satu sikap yang diciptakan khusus ketika kita menghadapi kepergian seseorang tanpa perlu kita merasa….seperti ini. Beberapa perasaan memang sulit diutarakan dalam bentuk yang lain. Adakah suatu cara untuk menggambarkan sesuatu yang tak dapat kita utarakan dengan hal-hal yang selama ini kita tahu?
Saya tak berbakat menghadapi hal-hal seperti ini. Saya sendiri gak tahu apakah harus bersedu, apakah biasa sajah. Saya gak mau menjadi manusia jahat yang acuh tak acuh, tapi juga gak mau jadi manusia penuh drama yang menangis dalam kapasitas yang sebetulnya tak perlu.
Saya juga tidak suka ketika mendapatkan kabar seperti ini. Saya benci ketika beragam manusia yang mengenal orang itu, mengutarakan kesedihannya pada berbagai media. Tapi, saya juga harus mengerti bahwa setiap orang memilki caranya masing-masing dalam menghadapi hal-hal seperti ini.
Saya benci kematian. Saya benci proses pada kematian. Tidak dapatkah berpamitan terlebih dahulu? Tak dapatkah setelah itu langsung pergi tanpa menyisakan apapun pada diri yang ditinggal. Dapatkah kematian hanyalah sebatas “Oh, oke selamat tinggal!” dan selesai.
Atau, ketika seseorang akan pergi,..tak dapatkah dunia diam?
Diam. Tak ada perasaan apapun yang singgah, tak ada perasaan apapun yang membuat saya menulis semua ini. Ini bukan pelarian, ini curahan. Karena saya tak pernah tahu bagaimana menghadapi hal-hal seperti ini kecuali dengan hal-hal yang sudah saya ketahui sebelumnya. Saya ingin semua diam, tanpa perlu ada unsur apapun yang hinggap.
Sekali lagi, saya tak punya bakat dalam menghadapi hal-hal seperti ini.
Jadi, sekalipun tulisan ini hanya dalam bentuk data, saya harap saya bisa mengucapkan selamat tinggal. Pada dia, seorang teman yang dulu menghirup oksigen yang sama dalam wadah yang serupa. Memperbesar jiwa dan meluaskan pikiran dari sumber yang sama. Selamat tinggal.
22 October 2012
Ekspektasi
Ekspektasi adalah adanya kekuatan dari kecenderungan untuk bekerja secara benar tergantung pada kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan pemberian jaminan, fasilitas dan lingkungan atau outcome yang menarik. Victor Vroom (dari wikipedia)
Bertahun-tahun kita hidup menjadi manusia, gak akan ada satu orangpun yang gak pernah berekspektasi. Dan, gw termasuk orang yang seringkali bersinggungan dengan hal ini. Terkadang gw benci dua hal ini : berekspektasi dan di-ekspektasi-kan.
Saat berekspektasi, kalau selalu ketinggian dan hasilnya malah jatuh, niscaya tubuhmu bukan hanya hancur bedebum tapi masa depanmu bisa ikut-ikutan remuk juga. And you'll feel that you don't deserve what you really want in your life. And I hate when someone expecting on me too. Kadang orang menaruh harapan ke gw kaya naruh barang-barang mereka, semakin memberatkan punggung untuk menegak. Baik sih selama dalam batas normal, tapi kalau ketinggian, lagi-lagi mereka akan kecewa berat. Dan kamu tahu rasanya membuat orang lain kecewa? Bahkan kamu yang sebenarnya gak bermaksud mengecewakan harus bersusah-payah membuat orang yang telah berekspektasi padamu itu untuk kembali dalam keadaan semula.
Lihat? Kadang ekspektasi malah membuat hidup ini jadi gak bebas. Kenapa semua orang gak menaruh ekspektasi kepada dirinya sendiri, jadi kalau memang gak kejadian paling enggak gak melemparkan kekecewaan ke orang lain.
And maybe I've to let everything just the way it is. Sometimes when you expecting on something, there's an energy boost in your soul. Believe me, I'm still learning about this life, with or without expecting on that.
Bertahun-tahun kita hidup menjadi manusia, gak akan ada satu orangpun yang gak pernah berekspektasi. Dan, gw termasuk orang yang seringkali bersinggungan dengan hal ini. Terkadang gw benci dua hal ini : berekspektasi dan di-ekspektasi-kan.
Saat berekspektasi, kalau selalu ketinggian dan hasilnya malah jatuh, niscaya tubuhmu bukan hanya hancur bedebum tapi masa depanmu bisa ikut-ikutan remuk juga. And you'll feel that you don't deserve what you really want in your life. And I hate when someone expecting on me too. Kadang orang menaruh harapan ke gw kaya naruh barang-barang mereka, semakin memberatkan punggung untuk menegak. Baik sih selama dalam batas normal, tapi kalau ketinggian, lagi-lagi mereka akan kecewa berat. Dan kamu tahu rasanya membuat orang lain kecewa? Bahkan kamu yang sebenarnya gak bermaksud mengecewakan harus bersusah-payah membuat orang yang telah berekspektasi padamu itu untuk kembali dalam keadaan semula.
Lihat? Kadang ekspektasi malah membuat hidup ini jadi gak bebas. Kenapa semua orang gak menaruh ekspektasi kepada dirinya sendiri, jadi kalau memang gak kejadian paling enggak gak melemparkan kekecewaan ke orang lain.
And maybe I've to let everything just the way it is. Sometimes when you expecting on something, there's an energy boost in your soul. Believe me, I'm still learning about this life, with or without expecting on that.
02 October 2012
Mindset
Setiap manusia punya pola pikirnya masing-masing. Mindset adalah sebuah kerangka berpikir dari seseorang atau bahkan mungkin satu kelompok yang mengatur perilaku, tata cara ini-itu dan lainnya. Saya sendiri baru baca buku teman saya, penulisnya Carol S. Dweck, PH.D dengan judul “Mindset”.
Di bukunya saya belajar banyak hal, yang paling penting ternyata kita selama ini selalu membatasi diri kita sendiri dengan batasan yang sebenarnya gak ada. Semuanya cuma pemikiran. Mindset dibagi menjadi dua menurut dia, yaitu mindset tetap dan mindset berkembang. Mindset tetap ini misanyla seperti orang yang udah dijudge oleh orang lain bahwa dia gak akan bisa bermain bola, maka dia ga akan berusaha. Atau ada orang yang dibilang oleh orang lain bahwa dia jago banget bermain bola, nah si orang itu senang dengan pujian dan akhirnya dia bermain bola terus dan gak mencoba hal-hal lain karena menurutnya dengan bermain bola dia akan selalu dipuja sedangkan jika dia mencoba hal lain dan gagal maka reputasinya bisa hancur.
Hal ini berbeda kalau dia menggunakan mindset berkembang. Mungkin si orang yang udah dijudge bahwa dia gak akan main bola ini tetap akan terus berusaha walaupun didepannya akan ada banyak kegagalan den cemoohan orang, dia percaya bahwa bisa itu karena biasa bukan karena bakat alami.
Beberapa minggu yang lalu gue ke daerah pantai Sawarna, disana saat malam hari gue mengobrol dengan pemilik warung. Si ibu pemilik warung ini memiliki 2 anak cewek, yang satu duduk di bangku SMA dan yang satunya lagi masih SMP. Dia bilang dalam bahasa Sunda, “Ya mau gimana lagi A, kita itu orang kampung. Beda dengan orang kota, disini udah bisa sekolah sajah sudah cukup.” Dia terus-terusan merendahkan diri dan anak-anaknya sendiri dengan membandingkannya dengan orang kota. Yang bikin saya kasian (dan juga kesal) adalah menamkan pemikiran yang aneh kepada anak ceweknya, “Yang penting buat anak gadis mah cari suami. Suami yang mapan, punya motor atau mobil sama rumah.”. Entah bercanda atau beneran, ternyata kedua anak gadisnya ini sudah memiliki “kekasih”, yang satu bersama om-om mapan sedangkan yang SMP hanya memiliki kekasih yang menurut ibunya gak punya modal besar.
Ah, sebal sendiri saya mendengarnya. Daripada nanti saya dianggap mengganggu akhinya saya tinggal mereka tidur. Saya sebal sama orang-orang yang kaya begini. Lagi-lagi membatasi dirinya sendiri.
Saya juga paling sebal sama orang yang suka nge-judge orang lain. Beberapa orang yang saya kenal banyak yang seperti ini. Misalnya saat kita melakukan satu kesalahan dia akan bilang “Ah udah lah lo gak akan bisa”, atau “Ah lo mah plin-plan orangnya!”. Padahal, kita ini plin-plan saat itu sajah, atau kita gak bisa karena saat itu ya saat pertama kali kita mencoba. Saya sendiripun bisa jadi secara gak sadar melakukan apa yang mereka lakukan itu, nah maka dari itu sekarang saya lagi mencoba menjadi manusia yang lebih baik.
Dengan mengembangkan mindset sendiri.
Di bukunya saya belajar banyak hal, yang paling penting ternyata kita selama ini selalu membatasi diri kita sendiri dengan batasan yang sebenarnya gak ada. Semuanya cuma pemikiran. Mindset dibagi menjadi dua menurut dia, yaitu mindset tetap dan mindset berkembang. Mindset tetap ini misanyla seperti orang yang udah dijudge oleh orang lain bahwa dia gak akan bisa bermain bola, maka dia ga akan berusaha. Atau ada orang yang dibilang oleh orang lain bahwa dia jago banget bermain bola, nah si orang itu senang dengan pujian dan akhirnya dia bermain bola terus dan gak mencoba hal-hal lain karena menurutnya dengan bermain bola dia akan selalu dipuja sedangkan jika dia mencoba hal lain dan gagal maka reputasinya bisa hancur.
Hal ini berbeda kalau dia menggunakan mindset berkembang. Mungkin si orang yang udah dijudge bahwa dia gak akan main bola ini tetap akan terus berusaha walaupun didepannya akan ada banyak kegagalan den cemoohan orang, dia percaya bahwa bisa itu karena biasa bukan karena bakat alami.
Beberapa minggu yang lalu gue ke daerah pantai Sawarna, disana saat malam hari gue mengobrol dengan pemilik warung. Si ibu pemilik warung ini memiliki 2 anak cewek, yang satu duduk di bangku SMA dan yang satunya lagi masih SMP. Dia bilang dalam bahasa Sunda, “Ya mau gimana lagi A, kita itu orang kampung. Beda dengan orang kota, disini udah bisa sekolah sajah sudah cukup.” Dia terus-terusan merendahkan diri dan anak-anaknya sendiri dengan membandingkannya dengan orang kota. Yang bikin saya kasian (dan juga kesal) adalah menamkan pemikiran yang aneh kepada anak ceweknya, “Yang penting buat anak gadis mah cari suami. Suami yang mapan, punya motor atau mobil sama rumah.”. Entah bercanda atau beneran, ternyata kedua anak gadisnya ini sudah memiliki “kekasih”, yang satu bersama om-om mapan sedangkan yang SMP hanya memiliki kekasih yang menurut ibunya gak punya modal besar.
Ah, sebal sendiri saya mendengarnya. Daripada nanti saya dianggap mengganggu akhinya saya tinggal mereka tidur. Saya sebal sama orang-orang yang kaya begini. Lagi-lagi membatasi dirinya sendiri.
Saya juga paling sebal sama orang yang suka nge-judge orang lain. Beberapa orang yang saya kenal banyak yang seperti ini. Misalnya saat kita melakukan satu kesalahan dia akan bilang “Ah udah lah lo gak akan bisa”, atau “Ah lo mah plin-plan orangnya!”. Padahal, kita ini plin-plan saat itu sajah, atau kita gak bisa karena saat itu ya saat pertama kali kita mencoba. Saya sendiripun bisa jadi secara gak sadar melakukan apa yang mereka lakukan itu, nah maka dari itu sekarang saya lagi mencoba menjadi manusia yang lebih baik.
Dengan mengembangkan mindset sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)